Sabtu, 18 Oktober 2014

Puisi Untuk Ayah....

Ayah..
Karena jasamu aku bisa menikmati
Indahnya hidup sampai saat ini.
Engkau tak pernah letih banting tulang
Hanya demi masa depan ku yang cerah
dan menemani disetiap perjuangan hidup ku

Engkau yang selalu
Memberi senyum kebahagiaan
Dikala aku berhasil
Dan menguatkanku
Dikala aku terjatuh

Terima Kasih Ayah
Apa yang telah engkau berikan
Aku menyayangimu sampai kapan pun.

Puisi Untuk Ibuku...!!

Dalam senyum mu kau sembunyikan letih mu
Derita siang dan malam menimpamu
Tak sedetikpun menghentikan langkahmu
Untuk bisa memberi harapan baru bagiku

Dia lah Ibu Orang yang selalu menjagaku
Aku hanya manusia lemah
Yang membutuhkan kekuatan
Kasih sayang dari ibu
Kekuatan yang lebih dari apapun

Walaupun engkau selalu memarahiku
Tapi aku tau itu bentuk perhatian dari mu
Aku sangat sayang pada mu ibu
Terima kasih atas pengorbananmu
Semoga aku bisa membalas kebaikanmu Ibu....,,,,

Sabtu, 11 Oktober 2014

Segarnya Menusuk Kedalam-dalam, Semangkok Es Batil

Es batil adalah minuman khas dari desa Bulu Brangsi Lamongan,di Lamongan kalian akan menjumpai yang sama sekali berbeda apabila dicampur dengan es dan bahan-bahan lain batil akan menjadi minuman yang sangat segar dan mengenyangkan. 

Ya, minuman yang terbuat dari beras yang di proses sehingga terbentuk menjadi batil, kemudian dalam penyajiannya ditambah variasi seperti rumput laut, siwalan, muntiara, kajang ijo, ketan hitam dan santan.

'' Kalau anda penasaran dengan minuman ini anda bisa datang ke warung Bu Bayinah di desa Bulu Brangsi kecamatan Laren, lokasi desa ini cukup jauh dari jalan utama pantura maupun jalan raya Lamongan. Untuk mengetahui desa ini, silahkan lihat Google Maps.''

Meskipun warung ini berada di pelosok tapi setiap harinya selalu ramai pembeli, yang lebih menyenangkan lagi lokasi ini berada di sekitar sawah dibawah naungan rumpun bambu yang teduh. Tertarik untuk mencoba?? warung yang sudah sejak 1990 ini buka setiap hari dari pukul 09.00-17.00. Tapi saran saya, akan lebih baik apabila anda datang tidak lebih dari 14.00, karena biasanya telah kehabisan batil saat sudah sore dan hanya menyisahkan es dawet siwalan / kacang hijau saja.

Jumat, 10 Oktober 2014

PUISI SAHABAT

Selalu hadir dalam kehidupan kita
Baik itu senang atau susah
Tak perlu berkata ia pasti mendengar
Semua cerita akan tercampur dengan bumbu kisahnya
Menegur kala kita salah mengambil langkah
Menyokong kala kita mengangkat satu keputusan
Bertanggung jawab walau tak ikut menyebabkan
Meniupkan hawa kedamaian kala kita terbalut dalam emosi
Dan… Selalu seperti itu hingga takdir memisahkan



Selasa, 07 Oktober 2014

File Note

PONDOK PESANTREN BAWAH TANAH

Tempat pondok pesantren Syeh Maulana Maghrobi dibawah telapak kaki Gua, Gua ini di istikhoro selama 3 tahun, yang berziarah diharuskan berdo’a semampunya. Nama ini di ambil dari seorang wali yang dahulu pernah ada di Tanah Jawa. Pesantren ini lebih dikenal dengan sebutan Ponpes Perut Bumi, Ponpes perut bumi berada didalam tanah seluas 3 hektar, Menurut pengakuan KH.Subhan Mubarok pimpinan Ponpes perut bumi setelah menerima bisikan ghaib di malam 1 syuro tahun 2001, segera ia membeli tanah yang berada di Kelurahan Kedungombo itu, Dahulu itu adalah tempat pembuangan sampah dan sarang ular. Setelah tempat itu di bersihkan selama 15 tahun, lalu KH.Subhan mengubah gua itu menjadi ponpes.
Ponpes ini didirikan tanggal 10 Muharram 2002. Ponpes perut bumi dipagari tembok setinggi 1 meter. Saat menuruni undakan tangga disebelah kanannya ada sebuah tempat untuk berwudlu dan toilet. Didalam gua ini terdapat sebuah ruangan besar yang digunakan untuk masjid, tempat ini diberi nama gua “Putri Ayu” diambil dari nama penghuni yang diyakini menjaga gua tersebut. Gua ini diwariskan dengan Sendang Ayu Putri Hardjo dari Solo.
Disebelah utara gerbang utama terdapat lorong dikanan kiri lorong terdapat lubang-lubang gua dengan lantai terplester untuk sementara digunakan sebagai kamar-kamar santri, di balik ruangan ini masih terdapat gua-gua yang lain seperti Petilasan Sunan Kalijaga dan Syeh Jangkung dan bekas pijakan kaki Syeh Maulana Maghrobi, ketiganya adalah para wali yang diyakini pernah bertapa di gua itu.

Ponpes itu sangat terbuka menerima tamu, setiap hari orang datang silih berganti untuk meminta didoakan kiai / sekedar melihat-lihat pesantren yang berada di gua itu. Mendirikan pesantren bawah tanah bukanlah tanpa hambatan, saat mau mendirikan ponpes bupati Tuban melarangnya, dengan alasan gua tersebut adalah milik Negara. Walaupun kesulitan dana tapi sedikitpun tidak pernah ada campur tangan pemerintah.

Rabu, 01 Oktober 2014

Tugas Kuliah

”Ideologi keagamaan Dan Demokrasi di Indonesia”
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Gerakan Ideologi Keagamaan

Oleh :
Siska Widiyanti                     (E02211025)
Dosen Pembimbing:
Drs. Kunawi Basyir, M.Ag

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS  ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA

2014

A.    Hubungan Ideologi Keagamaan dan Demokrasi
Ideologi keagamaan pada hakikatnya memiliki perspektif dan tujuan yang berbeda dengan ideologi liberalisme dan komunisme. Sebenarnya sangatlah sulit untuk menentukan tipologi ideologi keagamaan, karena sangat banyak dan beraneka ragam wujud, gerak, dan tujuan dari ideologi tersebut. Namun secara keseluruhan terdapat suatu ciri bahwa ideologi keagamaan senantiasa mendasarkan pemikiran serta moralnya pada suatu ajaran agama tertentu.
Gerakan-gerakan politik yang mendasarkan pada suatu ideologi keagamaan lazimnya sebagai suatu reaksi atas ketidak adilan, penindasan serta pemaksaan terhadap suatu bangsa, etnis ataupun kelompok yang mendasarkan pada suatu agama.
Dalam konteks operasional Indonesia, dengan berbagai latar belakang yang membedakan antara Indonesia dengan Negara barat, maka sejatinya konsep penerapan yang ada pun melihat konteks Indonesia. Jika dalam ikatan sejarah terjadi berbagai macam perdebatan mengenai kontroversi agama dan Negara yang akhirnya disepakati bahwa dasar Negara Indonesia adalah pancasila dan pancasila bukanlah sebuah agama, maka demokrasi akan dapat berkembang.
Konteks hubungan antara agama dan demokrasi ada pengaruh globalisasi. Demokrasi yang meniscayakan adanya kebebasan setiap individu menghasilkan perilaku yang individualistik dan asosial. Islam sebagai mayoritas agama yang dipeluk rakyat Indonesia belum mampu dicerna aspek sosialnya karena perilaku masyarakat terpengaruh oleh arus global. Sehingga tadinya yang budaya gotong royong menggema sekarang yang terjadi justru perilaku individualis masyarakat yang bercorak egoisme.[1]
Demokrasi sebagaimana halnya gejala modernisasi dan globalisasi, merupakan “produk impor” yang kehadirannya sulit dielakkan. Hampir semua bangsa di dunia menerima konsep demokrasi tak terkecuali Indonesia. Namun demikian kehadiran demokrasi tidak selalu berjalan mulus di setiap negara. Ada sebagian elemen bangsa yang menerima penuh antusias dan ada sebagian menolak disertai aneka kecurigaan. Tidak jarang pergulatan dalam mengapresiasi demokrasi menimbulkan gesekan bahkan konflik antar elemen-elemen bangsa itu sendiri. Salah satu penyebab utamanya adalah karena demokrasi harus berhadapan dengan unsur-unsur lokal, baik itu budaya maupun agama yang relatif telah mapan.
Di Indonesia agama dan budaya telah memberikan warna yang cukup kental. Pertautan demokrasi yang berasal dari barat dengan agama tidak selalu berjalan mulus, namun juga bukan berarti persenyawaan keduanya tidak terjadi. Dialektika agama dan demokrasi hingga kini terus mencari bentuk di Indonesia, sehingga demokrasi masih terus berproses dengan berbagai dinamika di dalamnya.
B.     Demokrasi dan Implementasinya
Pembahasan tentang peranan Negara dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari telaah tentang demokrasi dan hal ini karena dua alas an. Pertama, hampir semua negara didunia telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental sebagai telah ditunjukkan oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan lebih dari 100 sarjana barat dan timur, sementara dinegara-negara demokrasi itu pemberian peranan kepada Negara dan masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda-beda (kendati sama-sama Negara demokrasi). Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan  Negara sebagai organisasi tertingginya tetapi ternyata demokrasi itu berjalan dalam jalur yang berbeda-beda. Dalam hubungannya dengan implementasi kedalam sistem pemerintahan, demokrasi juga melahirkan sistem yang bermacam-macam.
Pertama, sistem presidensial yang menjajarkan antara parlemen dan presiden dengan memberi dua kedudukan kepada presiden dengan memberi dua kedudukan kepada presiden yakni sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan.
Kedua, sistem parlementer yang meletakkan pemerintah dipimpin oleh perdana menteri yang hanya berkedudukan sebagai kepala pemerintahan dan bukan kepala Negara, sebab kepala negaranya bisa diduduki oleh raja atau presiden yang menjadi simbol kedaulatan dan persatuan.
Ketiga, sistem referendum yang meletakkan pemerintah sebagai bagian (badan pekerja) dari parlemen. Di beberapa Negara ada yang menggunakan sistem campuran antara presidensial dengan parlementer yang antara lain dapat dilihat dari sistem ketatanegaraan di perancis atau di Indonesia berdasar UUD 1945.
Dengan alasan tersebut menjadi jelas bahwa asas demokrasi yang hampir sepenuhnya sebagai model terbaik bagi dasar penyelenggaraan negara ternyata memberikan implikasi yang berbeda diantara pemakai- pemakainya bagi peranan Negara.
C.    Arti dan Perkembangan Demokrasi
Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi Negara dijamin. Oleh sebab itu hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai Negara tidak selalu sama. Sekedar untuk menunjukkan betapa rakyat pada posisi penting dalam asas demokrasi ini. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pada intinya, yang banyaklah yang menang dan yang banyak dianggap sebagai suatu kebenaran.
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan Negara, karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.[2] Jadi, Negara demokrasi adalah Negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat atau jika ditinjau dari sudut organisasi, ia berarti suatu pengorganisasian Negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau asas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.
Meskipun dari berbagai pengertian itu terlihat bahwa rakyat  diletakkan pada posisi sentral “Rakyat berkuasa” ( government or rule by the people) tetapi dalam prakteknya oleh UNESCO disimpulkan, ide demokrsi itu dianggap ambiguous atau mempunyai arti ganda, sekurang-kurangnya ada ambiguity atau ketaktentuan lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan idea tau mengenai keadaan kultural secara historis yang mempengaruhi istilah ide dan praktik demokrasi.[3] Hal ini bisa dilihat betapa Negara-negara yang sama-sama menganut asas demokrasi ternyata mengimplementasikan secara tidak sama. Ketidak samaan atau aparatur demokrasi, tetapi juga menyangkut perimbangan porsi yang terbuka bagi peranan maupun peranan rakyat.
Sejak dimunculkannya kembali, asas demokrasi yang setelah tenggelam beberapa abad dari permukaan Eropa telah menimbulkan masalah tentang siapakah sebenarnya yang lebih berperan dalam menentukan jalannya Negara sebagai organisasi tertinggi: Negara ataukah masyarakat? Dengan kata lain, negarakah yang menguasai Negara ? pemakaian demokrasi sebagai prinsip hidup bernegara sebenarnya telah melahirkan fiksi-yuridis inilah telah terjadi tolak-tarik kepentingan atau kontrol, tolak-tarik mana yang kemudian menunjukkan aspek lain yakni tolak-tarik antara Negara–masyarakat karena kemudian Negara terlihat memiliki pertumbuhannya sendiri sehingga lahirlah konsep Negara organis.[4] Pemahaman atas masalah ini akan lebih jelas melalui penelusuran sejarah perkembangan prinsip sabagai asas hidup Negara yang fundamental.
 Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan Negara dan hukum di Yunani kuno dan dipraktikan dalam hidup bernegara antara abad ke4 SM- abad ke6 M. dilihat dari pelaksanaannya demokrasi yang dipraktikan bersifat langsung (direct democracy) untuk membuat keputusan politik dijalankan langsung oleh rakyat berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung ini dapat dilaksanakan secara efektif karena Negara kota  (city state) Yunani kuno berlangsung dalam kondisi sederhana dengan wilayah Negara yang hanya terbatas pada sebuah kota dan daerah sekitarnya dan jumlah penduduk yang hanya lebih kurang 300.000 orang dalam suatu Negara.
D.    Bentuk-bentuk demokrasi
Menurut Torres, demokrasi dapat dilihat dari dua aspek : formal democracy dan substantive democracy, yaitu menunjuk bagaimana proses demokrasi itu dilakukan. Formal democracy menunjuk pada demokrasi dalam arti sistem pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai pelaksanaan demokrasi di berbagai Negara, alam suatu Negara misalnya dapat diterapkan sistem presidensial atau parlementer.
Sistem presidensial menekankan pentingnya pemilihan presiden secara langsung, sehingga presiden terpilih mendapatkan mandate langsung dari rakyat. Sistem parlementer menerapkan model hubungan yang menyatu antara kekuasaan eksekutif  (head of government ) adalah berada ditangan seseorang perdana menteri. Adapun kepala Negara ( head of state)  adalah berada pada seorang ratu, misalnya di Negara inggris, atau ada pula yang berada pada seorang presiden seperti di india.
E.     Demokrasi di Indonesia
Sebagai warga Negara  yang sedang berkembang, rakyat Indonesia telah memproses transisi menuju demokrasi sejak awal abad ke dua puluh ini. Kaum pergerakan kemerdekaan membangun kesadaran bangsanya, sambil mempelopori gerakan kemandirian dan kebebasan dari penguasa dan sistem kekuasaan otoriter dan fasis. Kemerdekaan, demokrasi dan kemakmuran, disosialisasikan dan diperjuangkan oleh bangsa Indonesia secara terus menerus, sekalipun mengalami pasang surut.
Segera setelah proklamasi, lewat pembentukan partai, pemfungsian parlemen dan kompetisi kekuasaan, mulai dari pemilu sampai kepada penentuan posisi dan kebijakan publik, bangsa Indonesia melakukan eksperimen sistem politik demokrasi untuk pertama kalinya.[5] Maka dalam tiga dekade terakhir, bekerjalah tatanan kekuasaan yang memusat untuk menstabilkan politik sambil membangun ekonomi secara cepat. Itu berarti, bahwa tatanan dan proses politik yang dikehendaki tidak mengalami perubahan, sedangkan ekonomi didorong supaya bertumbuh dengan pesat.[6]
Apabila arah perubahan politik Indonesia memadai, tren perkembangan kehidupan politik Indonesia modern, tak berlangsung secara linier, sebab terjadi pengulangan sekalipun tidak secara utuh. Selama 37 tahun dari 1908, kaum pergerakan kemerdekaan menggerakkan transisi politik menuju demokrasi, sehingga berhasil mengorganisasi SPIDL, dari 1959 yang mungkin akan berlangsung sampai 2003 selama 43 tahun dan akan disusul oleh masa transisi menuju demokrasi selama 5 sampai 10 tahun, sehingga otoritarian akan berlangsung sampai 49 sampai 53  tahun, yang berarti disekitar setengah abad pula. Untuk sampai kepada kehidupan demokrasi yang mengakar, tampaknya, Indonesia terlebih dahulu mengalami kehidupan politik dan demokrasi dan otoriter, masing- masing sekali dan dua kali masa transisi menuju demokrasi yang memerlukan waktu lebih dari 40 tahun.[7]
Transisi menuju demokrasi bukan saja merupakan langkah yang diperlukan untuk mempersiapkan bangsa Indonesia menempuh masa depannya, akan tetapi perubahan itu sudah terjadi didalam kehidupan masyarakat bangsa dan Negara Indonesia sejak akhir tahun 1980 an.[8]
Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam empat periode:
1.      Periode 1945-1949, Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Sistem ini kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Meskipun sistem ini dapat berjalan dengan memuaskan di beberapa negara Asia lain, sistem ini ternyata kurang cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan melemahnya persatuan bangsa. Dalam UUDS 1950, badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional (constitutional head) dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Yang menonjolkan peranan parlemen serta partai- partai kelemahan demokrasi parlementer ini memberi peluang untuk dominasi partai- partai politik dan DPR. Akibatnya, persatuan yang digalang selama perjuangan melawan musuh menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan.
2.      Periode 1949-1965, Demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi rakyat. Masa ini ditandai dengan dominasi presiden, terbatasnya peran partai politik perkembangan pengaruh komunis dan peran ABRI sebagi unsur sosial politik semakin luas.
3.      Periode 1966-1998, masa demokrasi pancasila era orde baru yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial, landasan formal periodeini adalah pancasila, UUD 1945 dan ketetapan MPR/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin. Namun dalam perkembangannya peran presiden semakin dominan terhadap lembaga-lembaga Negara yang lain.
4.      Periode 1999- sekarang, masa demokrasi pancasila era reformasi, dengan berakar pada kekuatan multipartai yang berusha mengembalikan perimbangan kekuatan antar lembaga neagara, antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pada masa ini peran partai politik kembali menonjol sehingga iklim demokrasi memperoleh nafas baru.[9]
Sistem politik di Indonesia selama ini belum terbangun sikap-sikap berpolitik yang berorientasi kepada rakyat. Akibatnya, semua program makro dari partai politik tidak terukur dan hal ini membuka ruang menjadi sebuah klaim politik. Apabila kondisi itu terus berlangsung, maka pemerintah kita bukan menjadi penjaga dari kelangsungan hidup berdemokrasi di Republik tercinta ini, tetapi justru menjadi kekuatan penghancur. Semua itu bersumber dari kebajikan makro yang didengung-dengungkan oleh para elit politik kita.
Dalam kerangka mewujudkan Indonesia baru, kita perlu membangun corak demokrasi yang membawa pencerahan bagi rakyat tentang kehidupan demokrasi. Corak baru tersebut ialah memberikan corak pendidikan politik Indonesia yang tetap menghargai kearifan budaya lokal sebagai denyut demokrasi. Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, UUD 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat.
Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan PDIP sebagai pemenang Pemilu.
Budaya lokal, terutama dalam konteks kepemimpinan diharapkan mampu menciptakan kultur politik yang lebih demokratis melalui civil society, sehingga pendidikan politik bagi warga Negara semakin kuat. Apalagi bila penciptaan kultur tersebut, melalui dunia akademik di kampus. Selain itu juga, diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang bersifat optimis diantara rakyatnya.[10]
Perbincangan sejauh ini lebih banyak mengungkapkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh civil society untuk tumbuh dan hadir sebagai tulang punggung demokrasi di Indonesia. Ia mulai terbebas dari intervensi Negara, akan tetapi menjadi rawan terhadap intervensi political society dan economic society bahkan menjadi arena pergulatan politik komunal. Ia juga menjadi rawan terhadap cultural masyarakat yang paternalistik.[11]
F.     Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
Demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,dan untuk rakyat.
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Negara kita, semua konstitusi yang pernah berlaku menganut prinsip demokrasi. Hal ini dapat dilihat misalnya:
A.    Dalam UUD 1945 (sebelum diamandemen) pasal 1 ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
B.     Dalam UUD 1945 (setelah diamandemen) pasal 1 ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”.
C.     Dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat, Pasal 1:
1.      Ayat (1) berbunyi: “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi”.
2.      Ayat (2) berbunyi: “Kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat”.
D.    Dalam UUDS 1950 pasal 1:
1.      Ayat (1) berbunyi: “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
2.      Ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan Republik Indonesia adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan rakyat”.[12]

A.  Demokrasi pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan
Pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan ini (1945-1949), pelaksanaan demokrasi baru terbatas pada interaksi politik diparlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan. Meskipun tidak banyak catatan sejarah yang menyangkut perkembangan demokrasi pada periode ini, akan tetapi pada periode tersebut telah diletakkan hal-hal mendasar. Pertama, pemberian hak-hak politik secara menyeluruh. Kedua, presiden yang secara konstitusional ada kemungkinan untuk menjadi diktator. Ketiga, dengan maklumat Wakil Presiden, maka dimungkinkan terbentuknya sejumlah partai politik yang kemudian menjadi peletak dasar bagi sistem kepartaian di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya dalam sejarah kehidupan politik kita.
B.     Demokrasi parlementer (1950-1959)
Masa demokrasi parlementer merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat kita temukan perwujudannya dalam kehidupan politik di Indonesia.
1.      Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan.
2.      Akuntabilitas (pertanggung jawaban) pemegang jabatan dan politis pada umumnya sangat tinggi.
3.      Kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh pelung yang sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal.
4.      Sekalipun Pemilihan Umum hanya dilaksanakan satu kali yaitu pada 1955, tetapi Pemilihan Umum tersebut benar-benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi.
5.      Masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak dikurangi sama sekali, sekalipun tidak semua warga Negara dapat memanfaatkannya dengan maksimal.
6.      Dalam masa pemerintahan Parlementer, daerah-daerah memperoleh otonomi yang cukup bahkan otonomi yamg seluas-luasnya dengan asas desentralisasi sebagai landasan untuk berpijak dalam mengatur hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa demokrasi perlementer mengalami kegagalan?. Banyak sekali para ahli mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Dari sekian banyak jawaban, ada beberapa hal yang dinilai tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut.[13]
1.      Munculnya usulan presiden yang dikenal dengan konsepsi presiden untuk membentuk pemerintahan yang bersifat gotong-royong.
2.      Dewan Konstituante mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan merumuskan ideologi nasional.
3.      Dominannya politik aliran, sehingga membawa konsekuensi terhadap pengelolaan konflik.
4.      Basis sosial ekonomi yang masih sangat lemah.
C.     Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Demokrasi terpimpin merupakan pembalikan total dari proses politik yang berjalan pada masa demokrasi perlementer.
1.      Meleburnya sistem kepartaian.
2.      Dengan terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong,peranan lembaga legislative dalam sistem politik nasional menjadi sedemikian lemah.
3.      Hak dasar manusia menjadi sangat lemah.
4.      Masa demokrasi terpimpin adalah masa puncak dari semangat anti kebebasan pers.
5.      Sentralisasi kekuasaan yang semakin dominan dalam proses hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah.[14]
D.    Demokrasi pada masa Orde Baru (1966-1998)
1.      Rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hampir tidak pernah terjadi.
2.      Rekruitmen politik bersifat tertutup.
3.      Pemilihan Umum.
4.      Pelaksanaan hak dasar warga Negara.
a)      Demokrasi pada masa Reformasi (1998 sampai dengan sekarang)
Dalam masa pemerintahan Habibie inilah muncul beberapa indikator kedemokrasian di Indonesia. Pertama, diberikannya ruang kebebasan pers sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan. Kedua, diberlakunya sistem multi partai dalam pemilu tahun 1999. Demokrasi yang diterapkan Negara kita pada era reformasi ini adalah demokrasi Pancasila, tentu saja dengan karakteristik yang berbeda dengan orde baru dan sedikit mirip dengan demokrasi perlementer tahun 1950-1959.
1.      Pemilu yang dilaksanakan (1999-2004) jauh lebih demokratis dari yang sebelumnya.
2.      Rotasi kekuasaan dilaksanakan dari mulai pemerintahan pusat sampai pada tingkat desa.
3.      Pola rekruitmen politik untuk pengisian jabatan politik dilakukan secara terbuka.
4.      Sebagian besar hak dasar bisa terjamin seperti adanya kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers, dan sebagainya.
G.    Unsur- unsur Pendukung Tegaknya Demokrasi
Tegaknya demokrasi sebagai sebuah tatanan kehidupan kenegaraan, pemerintahan, ekonomi, sosial dan politik sangat tergantung pada keberadaan dan peran yang dijalankan oleh unsur demokrasi adalah:
1.      Negara hukum (reshstaat atau the rule of law).
Negara hukum memiliki pengertian bahwa memberi perlindungan hukum kepada warga Negara melalui lembaga peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjamin hak asasi manusia.
2.      Masyarakat madani (civil society)
Masyarakat madani yakni sebuah masyarakat dengan cirri-cirinya yang terbuka, egaliter bebas dari dominasi dan tekanan Negara. Masyarakat madani merupakan elemen yang sangat signifikan dalam membangun demokrasi, yaitu adanya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Negara atau pemerintah.
3.      Aliansi kelompok strategis
Aliansi kelompok strategis terdiri dari partai politik, kelompok gerakan, kelompok penekan atau kelompok kepentingan termasuk didalamnya pers yang bebas dan bertanggung jawab.[15]



[1] Yudi, Latif. Negara Paripurna Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta :Gramedia Pustaka. 2011. 79
[2] Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik (Jakarta: CV Rajawali 1983), 207
[3] Merriam Budiarjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik (Jakarta : PT Gramedia 1981)
[4] Ibid.,154
[5] Sanit, Arbi. Reformasi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI). 1998.211
[6] Ibid., 212
[7] Ibid., 213
[8] Ibid.,218-219
[9] MS. Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan ( paradigma: Yogyakarta 2007), 64
[10] Mulyana, M. Hum. Demokrasi dalam Budaya Lokal. Cet-1. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005. 74
[11] Rahardjo, M. Dawam. Indonesia dalam Transisi Menuju Demokrasi. Jakarta: LSAF,1999.49
[12] Ibid., 55
[13] MS. Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan ( paradigma: Yogyakarta 2007),  67

[14] Ibid., 70
[15] Tim Penyusun MKD, Civic Education (pendidikan kewarganegaraan), cet1-3. Uin sunan ampel press anggota IKAPI 117 surabaya.2013. 158

Selasa, 30 September 2014

Tugas Kuliah

FESTIVAL ( MATSURI) DAN RITUAL SHINTO
ARTIKEL
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Agama – Agama Dunia

Oleh:
Siska Widiyanti           (E02211025)
Dosen Pengampuh:
Muhammad Afdillah, S.Th.I, M.Si
NIP : 198204212009011013
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012

Abstract: Japanese religion Shinto religion commonly called. Japan is a unique religion. Shinto is a religious festival and celebration. Matsuri is a Japanese word which by definition means Shinto ritual dedicated to the Us, it could also be interpreted as a festival, a celebration or holiday celebration. Matsuri is also held to celebrate the traditions associated with the change of seasons or pray for the spirits famous. The meaning of the ceremony is done and the time of the matsuri varied in accordance with the objectives of the matsuri. New year festival which lasts for seven days, is the most important country for the celebration of Shinto. Shinto is a belief that emphasizes that nature has the power, like the sun, rivers, soil, air, water, fire, and forth.
A.                Pendahuluan
Agama Jepang biasanya disebut dengan agama Shinto. Sebagai agama asli bangsa Jepang, agama tersebut memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang sangat ruwet. Banyak istilah-istilah dalam agama Shinto yang sukar dialih bahasakan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri sebenarnya berasal dari bahasa China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan para dewa”, “pengajaran para dewa”, atau “agama para dewa”.
Pertumbuhan dan perkembagan agama serta kebudayaan Jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang.[1]
Jepang adalah agama yang unik. Tidak ada satu mengunjungi Negara pulau dan mata menjaga dan telinga membuka lebih dari lima belas menit bisa memeiliki keraguan itu. Bahasa terdengar seperti yang lain. Sebagai salah satu perjalanan. Sebelum lama khass teori atau melengkung lingkungan menandai kuil Shinto menjadi terlihat.[2] Bangsa Jepang memiliki kebudayaan yang unik dan beraneka ragam jenisnya yang patut kita pelajari. Kebudayaan tersebut mencakup : bahasa, festival, upacara, tata ruang, makanan, seni, bela diri dan sebagainya. Masing- masing budaya tersebut memiliki makna tersendiri dan didasari oleh suatu kepercayaan. Budaya- budaya tersebut sangat identik dan terpengaruh oleh suatu agama. Khususnya Shinto yang merupakan kepercayaan agama yang memiliki sejarah cukup lama dan amat berpengaruh di Jepang. Di Jepang terdapat lebih dari 200.000 organisasi keagamaan dan mayoritas berorientasi pada agama Shinto. Agama ini memiliki penganut yang paling mendominasi di Jepang sejak lebih dari abad 10 yang lalu.[3]
Akan tetapi mereka pergi ke kuil-kuil hanya untuk menghadiri perayaan tahunan atau ritual-ritual keagamaan. Disisi-sisi lain beratus-ratus matsuri ( festival keagamaan ) diadakan sepanjang tahun dan ribuan jutaan orang menghadirinya. Seorang turis yang datang ke Jepang mungkin berpikir bahwa Jepang adalah Negara yang sangat religious. Praktek keagamaan terlihat dimana-mana, mulai dari tempat-tempat ibadah besar dan terawat di kota-kota besar hingga kuil-kuil kecil di perumahan dan mengingat juga banyaknya matsuri yang diadakan dalam setahun. Meskipun demikian, kenyataan agama tidak terlalu dianggap penting di Jepang.[4] Oleh karena itu artikel ini akan mengkaji tentang ritual agama Shinto yaitu sejarah matsuri.
B.                 Sejarah Matsuri
Matsuri adalah kata dalam bahasa Jepang yang menurut pengertian agama Shinto berarti ritual yang dipersembahkan untuk Kami, sedangkan menurut pengertian sekularisme berarti festival, perayaan atau hari libur perayaan. Matsuri diadakan di banyak tempat di Jepang dan pada umumnya diselenggarakan jinja atau kuil, walaupun ada juga matsuri yang diselenggarakan gereja dan matsuri yang tidak berkaitan dengan institusi keagamaan. Di daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut Kunchi. Sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan tangkapan ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jawawut, jagung), kesuksesan dalam bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas berat. Tidak ada hari Matsuri khusus untuk seluruh Jepang, tanggal bervariasi dari daerah ke daerah, dan bahkan dalam bidang tertentu, tetapi hari-hari festival cenderung mengelompok di sekitar hari libur tradisional seperti Setsubun atau Obon. Hampir setiap lokal memiliki setidaknya satu matsuri di akhir musim panas / awal musim gugur, biasanya terkait dengan panen padi.[5]
Disini adalah festival lokal yang tak terhitung jumlahnya (matsuri) di jepang karena hampir setiap kuil merayakan salah satu sendiri. Kebanyakan festival diadakan setiap tahun dan merayakan dewa suci atau peristiwa musiman atau sejarah. Beberapa festival diadakan selama beberapa hari. Sebuah elemen penting dari festival jepang prosesi, di mana kami kuil lokal (Shinto dewa) dilakukan melalui kota di mikbosi (tandu). Ini adalah satu-satunya waktu tahun ketika kami meninggalkan kuil untuk dibawa berkeliling kota, disertai dengan musik gendang dan suling oleh orang yang duduk di mengapung. Setiap festival memiliki karakteristik sendiri. Sementara beberapa festival yang tenang dan madiatif banyak yang energik dan berisik.[6]
Matsuri juga diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka ragam seusai dengan tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada daerahnya. Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan Mikoshi, Dashi (Danjiri) dan Yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam prosesi), Miko (anak gadis pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki berpakaian wanita), Hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar kaget beraneka macam makanan dan permainan.[7]
Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri : penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan. Matsuri yang paling tua di kenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang di lakukan di depan amino lwato. Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk di doakan dan jichinsai ( upacara sebelum pendirian bangunan atau kontruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jingū merupakan salah satu contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.
Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa makna religious. Sedangkan agama Shinto adalah sebuah agama yang berasal dari Jepang. Shinto merupakan kepercayaan yang menekankan bahwa alam mini memiliki kekuatan, seperti matahari, sungai, tanah, udara, air, api, dan lain sebagainya.
Upacara pernikahan dengan agama Shinto festival dan perayaan atau yang dikenal dengan nama matsuri dalam bahasa jepang adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan ritual Shinto. Matsuri merupakan upacara ritual Shinto (memuja dewa), yang berfungsi sebagai bentuk pendekatan diri kepada dewa-dewa bagi masyarakat umum.
Matsuri dianggap tidak lebih dari perayaan budaya tahunan belaka. Masing-masing kuil mempunyai matsurinya sendiri-sendiri dan tiap kuil ataupun daerah yang satu dengan daerah yang lain mempunyai keunikannya perayaannya sendiri-sendiri. Perayaan matsuri yang bersifat Nasional seperti halnya hari raya agama yang kita kenal sama sekali yang ada di Jepang. Kebanyakan festival dilaksanakan pada musim panas sekitar bulan Juli dan Agustus dan jatuh pada hari Minggu sesuai dengan kalender masehi. Beberapa festival tertentu yang bisa disebut yang sangat megah yang melibatkan peserta dalam jumlah besar dan tentu saja tidak ketinggalan jumlah penonton yang bisa mencapai jutaan orang.[8]
Shinto tidak memiliki ibadah mingguan. Orang mengunjungi kuil pada kenyamanan mereka. Beberapa orang mungkin pergi ke kuil pada tanggal pertama dan 15 bulan masing-masing dan pada kesempatan upacara atau festival (matsuri), yang berlangsung beerapa kali dalam setahun. Bhakta, namun. Dapat membayar penghormatan ke kuil setiap pagi.
Ritus peralihan. Berbagai Shinto ritus peralihan yang di amati di jepang. Kunjungan pertama yang baru lahir ke kami yang mengawasi, yang terjadi 30 sampai 100 hari setelah lahir. Apakah untuk memulai bayi sebagai pemeluk baru, shichi-go-san (tujuh-lima-tiga) festival pada tanggal 15 November adalah kesempatan bagi anak laki-laki dari lima tahun dan anak perempuan dari tiga dan tujuh tahun untuk mengunjungi kuil untuk memberikan terima kasih untuk perlindungan kami dan berdo’a untuk pertumbuhan yang sehat mereka. 15 januari adalah hari orang dewasa. Pemuda didesa yang digunakan untuk bergabung dengan asosiasi pemuda setempat pada hari ini. Saat itu adalah hari peringatan bagi Jepang yang telah mencapai tahun ke-20 mereka. Orang Jepang biasanya memiliki upacara pernikahan mereka dalam gaya Shinto dan mengucapkan janji pernikahan mereka ke kami. Upacara pemakaman Shinto, bagaimanapun, tidak popular. Mayoritas jepang Buddha dan Shinto pada saat yang sma dan memiliki pemakaman mereka dalam gaya Budha. Sebuah rumah tradisional jepang memiliki altar keluarga: satu, Shinto, untuk kami yang mengawasi mereka dan dewi A omikomi matesaru dan lain, Buddha bagi leluhur keluarga. Murni Shinto keluarga. Namun, akan memiliki semua upacara dan jasa dalam gaya Shinto. Ada lainnya Shinto matsuri pekerjaan atau tentang kehidupan sehari-hari, seperti upacara memurnikan sebuah bangunan, sebuah penembakan memurnikan upacara untuk boiler di pabrik baru. Upacara penyelesaian untuk pekerjaan konstruksi, atau upacara peluncuran kapal baru.
Varieties festival, ibadah dan do’a. setiap kuil Shinto memiliki beberapa festival besar setiap tahun. Termasuk musim festival baru matsuri dan toshigoi matsuri: do’a untuk festival panen yang baik, festival musim gugur festival panen, festival tahunan dan prosesi ilahi. Biasanya berlangsung pada hari festival tahunan, dan kuil-kuil miniature dilakukan pada bahu diangkut melaui kabupaten urutan atau ritual di sebuah festival besar biasanya sebagai berikut:[9]
1.      Pemurnian ritual ( harae)- umumnya. Diadakan di sudut Bait suci sebel;um peserta datang ker kuil sebelum memulai perayaan.
2.      Adorasi- imam kepala dan seluruh jemaat haluan ke altar.
3.      Pembukaan pintu tempat kudus batin (oleh imam).
4.      Presentasi makanan persembahan beras, sake, kue beras, ikan, rumput laut sayuran, garam, air. Ect. Apakah di tawarkan tapi daging hewan bukan karena tabu pada menumpahkan daraah didaerah suci dalam makanan yang di masak masa lalu biasanya ditawarkan kepada kami. Tapi makanan mentah saat ini lebih sering digunakan sesuai perubahan ini, gagasan kami menghibur berubah dengan syukur.
5.      Doa- imam membacakan doa ( norito) meniru doa Shinto kuno doa-doa yang di susun pada abad ke-10 awal dan didasarkan pada keyakinan lama bahwa kata-kata yang di ucapkan memiliki potensi spiritual.
6.      Music dan tarian sacral.
7.      Penawaran umum- peserta festival membuat persembahan simbolik menggunakan cabang kecil dari pohon cemara suci yang strip dari kertas putih yang diikat.
8.      Mengambir persembahan away
9.      Menutup pintu ruang belakang
10.  Akhir adorasi
11.  Pesta (naorai)
Di Shinto tradisional, tidak ada konsep dosa. Dunia indah dan penuh semangat membantu. Seksualitas perse tidak berdosa: dunia diciptakan oleh dewa kawin, dan orang-orang secara tradisional mandi bersama-sama secara komunal dijepang. Namun ada masalah kenajisan ritual yang saya menyinggung kami dan membawa pada bencana seperti kekeringan, kelparan atau perang.
Kualitas kotoran atau kemalangan tsumi. Dapat timbul melalui kotoran oleh mayat atau menstruasi. Oleh interaksi tidak baik antara manusia, antara manusia dan lingkungan atau melalui bencana alami, berebda dengan tobat diperlukan oleh agama-agama yang menekankan dosa, tsumi membutuhkan pemurnian. Pengikut jalan kami memiliki berbagai cara menghapus tsumi, satu memperhatikan masalah yang muncul.[10]
C.          Festival Shinto
Shinto adalah agama festival dan perayaan. Kuil masing-masing memilikinya kalender tahunan ritual dan festival, dan kalender masing-masing dapat bervariasi dari kuil ke kuil. Festival dari Shinto kalender sering tumpah tindih dengan hari besar keagamaan dari tradisi-tradisi lain, dan semua adalah bagian dari acara tahunan, atau nenju gyoji, Jepang. Ini termasuk baik festival keagamaan dan regional dan nasional perayaan. Meskipun saat ini banyak festival Shinto, atau matsuri, tampak lebih sekuler dari pada keagamaan, sebagai besar mulai sebagai besar mulai sebagai perayaan keagamaan, dan matsuri kata berkonotasi doa dan ibadah bersama dengan festival yang mengikuti pertanian kalender. Festival musim semi menandai waktu tanam padi, saat kritis dalam budaya padi. Pada musim gugur ada festival untuk memperingati panen dan syukur. Tahun baru dirayakan sebagai masa penyucian dan pembaharuan dan sangat penting karena melambangkan awal yang baru.[11] Tetapi juga merayakan festival keajaiban kecil : bunga sakura di musim semi, bunga-bunga dari musim panas, dan perubahan daun di musim gugur. Pekerjaan memiliki dewa pelindung, dan festival tahunan yang di adakan berterima kasih kepada mereka untuk perlindungan mereka. Selain itu, terlepas dari kegiatan tahunan yang terjadi pada semua kuil Shinto, setiap tempat suci merayakan sebuah festival untuk dewa penjaga tersendiri atau dewa.
Festival ini, pertama-tama, kali untuk menikmati. Ketika hari festival tiba, bisnis, lembaga pendidikan, dan pabrik-pabrik di tutup, dan keluarga, teman dan tetangga berkumpul, sering pada yang luas alasan sekitarnya kuil. Semakin besar kuil sering memiliki bangunan luar dimana orang dapat berkumpul untuk hiburan. Actor dapat hadir Noh, klasik tari-drama yang menggambarkan cerita kami yang suka tertawa. Gadis kuil melakukan tarian untuk menghibur kami tersebut. pedagang mendirikan kios-kios dengan alasan suci untuk menjual makanan ringan, minuman, souvenir dan permainan. Festival dapat berlangsung satu hari atau selama seminggu. Mereka mungkin termasuk juggler, pegulat, pacuan kuda, memanah, bonfi res, lomba perahu, beberapa festival besar melibatkan seluruh penduduk, bahkan di kota-kota besar seperti Kyoto. Dalam setiap kuil adalah Shinto ini tidak pernah dilihat, bahkan oleh imam, dan jamaah mengambil keberadaannya iman. Pada saat festival imam tempat ini kotak dalam mikhosi, atau tandu, yang dihiasi dada dilakukan dengan cara lama, horizontal kutub. Pemuda yang kuat membawa tandu ini sekitar kota sehingga kami dapat melihat lokal atas mana mereka memimpin dan memberkatinya atau hanya menikmatinya.[12]
Orang-orang pastikan bahwa mikoshi melewati setiap rumah di kota sehingga hubungan antara kami dan orang-orang diperkuat. Penting juga, adalah kenyataan bahwa tindakan yang sangat membawa mikhosi membutuhkan kerjasama yang erat antara orang-orang. Sebuah tandu kecil mungkin memerlukan 4-8 pembawa, beberapa yang lebih besar mungkin memerlukan 30. Tugas bersama mengingatkan orang-orang ketergantungan mereka pada satu sama lain. Tradisional Shinto kebajikan. Pada festival yang lebih besar prosesi juga termasuk besar beroda mengapung, kadang-kadang dua cerita tinggi, dihiasi warna-warni, dan ditarik oleh laki-laki muda. Mengapung dapat menyajikan adegan historis atau dapat membawa penari dan musisi yang tampil untuk orang banyak. Orang bergabung dengan prosesi mengenakan kostum sejarah tradisional kimono dan gaun pengadilan atau regalia kuno prajurit.
Ritual Shinto, tentu saja, adalah bagian penting dari setiap festival. Imam melakukan ritual kuno pemurnian, penawaran, permohonan dan pesta. Warna-warni berpakaian suci gadis tari untuk hiburan kami ini. Doa meminta kelanjutan dari berkat-berkat yang kami. Sepanjang para penyembah festival mendekati kuil, cincin lonceng kuil, bertepuk tangan dan menyajikan mereka persembahan dan doa ke kami itu.
Festival tahun baru yang berlangsung selama tujuh hari, adalah Negara paling penting Shinto perayaan. Ini adala kedua liburan nasional dan acra religious waktu untuk merayakan, membayar utang, memebuat kesalahannya dan memulai kehidupan baru. Selama ini orang gaun festival di kimono, dan perempuan membuat rambut mereka dalam gaya tradisional. Jalan-jalan yang dihiasi dengan spanduk dan dekorasi berwarna-warni lainnya. Sebelum festival tahun baru di mulai orang memebersihkan rumah mereka, simbolis menyapu keluar tahun, dengan nasib buruk dan penderitaan dan membuat ruang bagi yang baru. Sekitar rumah mereka menggantung pinus cabang, yang melambangkan pembaharuan hidup dan beras jerami tali, yang mendefinisikan ruang suci dan mengusir kejahatan. Hal ini juga adat untuk menempatkan dahan pinus di keranjang bamboo karena di jepang[13] tahun baru termasuk ritual Shinto formal di yang imam chant norito atau doa Shinto kuno. Kuil gadis, gadis-gadis muda yang keluarganya adalah anggota kuil, memakai kostum tradisional dan tarian kagura, atau sacral tarian untuk menghibur kami tersebut. gadis kuil juga berpartisipasi dalam beberapa ritual dan memebantu dalam bisnis kuil, menjual jimat (pesona tua) dan berkat memberi.
Tahun baru festival ritus membantu orang memulai tahun baru suci hatinya dan dengan kontak kami. Selama perayaan itu adalah adat untuk bisnis dan lainnya organisasi untuk memebuat hadiah besar kekuil setempat, berterima kasih kami yang atas dukungan mereka dimasa lalu dan meminta untuk sukses di masa depan. Hadiah mungkin berhubungan dengan bisnis contributor tapi adalah makanan yang lebih umum dan kepentingan. Sake adalah hadiah popular. Setelah itu telah dihabiskan di bagi oleh jama’ah, menambah suasana festival. Pada malam pertama tahun baru orang dapat merayakan semua malam. Di pedesaan kuil kecil jamaah hanyut oleh satu pagi. Tapi banyak meninggalkan untuk kereta api papan yang berjalan sepanjang malam untuk tempat suci nasional didekatnya. Utama kuil, seperti kuil meiji di Tokyo dan fushimi inari di Kyoto, membanggakan kerumunan besar lebih dari satu juta orang di tahun baru malam. Setelah malam terlebih dulu perayaan menjadi lebih tenang, namun orang terus mengumpulkan dalam suasana liburan. Diperpanjang keluarga berkumpul pada saat ini, dan roh-roh nenek moyang yang diyakini di kunjungi juga, sehingga perayaan termasuk kedua anggota hidup dan leluhur roh. Mereka memberikan oseibo, atau akhir tahun hadiah, custom di adopsi dan Eropa dan Amerika.[14]
D.    Kesimpulan
Bangsa jepang adalah bangsa yang unik yang memiliki kebudayaan yang beraneka ragam jenisnya yang patut untuk kita pelajari dan Shinto merupakan kepercayaan yang mengacu pada animisme serta dipercayai merupakan agama asli Jepang. Shinto memiliki banyak sekali upacara dan perayaan ( matsuri ). Dalam menjalankan upacara atau perayaan tersebut, terdapat ritual-ritual tertentu dalam pelaksanaanya. Dalam kepercayaan Shinto, ritual memiliki tujuan untuk mengusir roh-roh jahat melalui penyucian dan do’a. Shinto dikarakteristikan dengan perayaan dan festival dengan tujuan untuk hidup dalam pertalian dengan alam, memuja kami dan melalukan rirual penyucian perayaan- perayaan tersebut dengan kalender tahunan. Sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan tangkapan ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jawawut, jagung), kesuksesan dalam bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas berat. Tidak ada hari Matsuri khusus untuk seluruh Jepang, tanggal bervariasi dari daerah ke daerah, dan bahkan dalam bidang tertentu, tetapi hari-hari festival cenderung mengelompok di sekitar hari libur tradisional seperti Setsubun atau Obon.
Ketika hari festival tiba, bisnis, lembaga pendidikan, dan pabrik-pabrik di tutup, dan keluarga, teman dan tetangga berkumpul, sering pada yang luas alasan sekitarnya kuil. Semakin besar kuil sering memiliki bangunan luar dimana orang dapat berkumpul untuk hiburan. Festival dapat berlangsung satu hari atau selama seminggu. Ritual Shinto, tentu saja, adalah bagian penting dari setiap festival
E.     Daftar Pustaka

Djam’annuri, Agama Jepang, PT. Bagus Arafah, Yogyakarta, 1981
Earhart, H. Byron. Japanese Religion: Unity and Diversity. Wadsworth. 2003
I.b Tauris, The New Encyclopedia Britanica Macropaedia Knowledge In Depth, London :new York,1997,
Josep. Sou.Yb, Agama-Agama Besar Didunia, Jakarta : Al-Husna Zikro, 1983
Potter. B. Norton , Publishing Group Then Edition, New York1903,
Paula R. Hartz. 2009.World Religions: Shinto, Third Edition(New York, NY: Chelsea House Publishers), ch. 1,2,5-92.

Robert Ellwood. 2007. Japanese Religion, e-book by Journal of Buddhist Ethics Online Books, Ltd. ISBN: 0-9747055-8-6(ebook), ch. 1, 3, dan 7. 12






[1] Djam’annuri, Agama Jepang, PT. Bagus Arafah, Yogyakarta, 1981
[2] Robert Ellwood. 2007.Japanese Religion, e-book by Journal of Buddhist Ethics Online Books, Ltd. ISBN: 0-9747055-8-6(ebook), ch. 1, 3, dan 7. 12

[3] Earhart, H. Byron. Japanese Religion: Unity and Diversity. Wadsworth. 2003. 45
[4] Earhart, H. Byron. Ibid., 48
[7] www.nyatanyatafakta,ibid.,
[8] Josep. Sou.Yb, Agama-Agama Besar Didunia, Jakarta : Al-Husna Zikro, 1983, 210
[9] I.b Tauris, The New Encyclopedia Britanica Macropaedia Knowledge In Depth, London :new York,1997, 281
[10] Norton.B,Potter, Publishing Group Then Edition, 1903,193
[11] Paula R. Hartz. 2009.World Religions: Shinto, Third Edition(New York, NY: Chelsea House Publishers), ch. 1,2,5-92. 94
[12] Paula R. Hartz. Ibid.,96
[13] Paula R. Hartz. Ibid.,97
[14] Paula R. Hartz. Ibid.,98